Baca dulu infonya ??

Kamis, 24 November 2011

Mengambil Hikmah dari Sosok Mbah Maridjan


Kabar bahwa Mbah Maridjan meninggal dunia akibat gunung merapi meletus itu tentu sudah banyak yang dengar, Awalnya berita itu karena awalnya ditemukan sosok mayat orang tua mengenakan pakaian batik yang meninggal dalam posisi sujud dan di duga itu adalah Mbah Marijan ,

Sempat ada kabar bahwa tidak jauh dari rumahnya di Dusun Kinahrejo Kabupaten Sleman,Yogyakarta, sang juru kunci Gunung Merapi itu dikabarkan telah ditemukan selamat. Namun dalam kondisi lemas akibat terpapar luncuran awan panas atau yang dikenal warga wedhus gembel. Sementara belasan orang lainnya meninggal dunia dengan luka bakar di sekujur tubuh di dalam rumah Mbah Maridjan dan sekitar halaman rumah.

Dalam akun Twitter RadioElshinta yang diposting sekira pukul 02.20 WIB, Rabu (27/10/2010) ditulis, "Agus Wiyarto krabat Mbah Marijan: Tidak benar informasi Mbah Marijan ditemukan di lereng Merapi dgn kondisi lemas, slamat oleh relawan TNI."

Sebelumnya, dalam sejumlah pemberitaan media massa dilaporkan Mbah Marijan ditemukan dalam keadaan selamat dengan kondisi lemas. Komandan Pangkalan TNI AL Yogyakarta Kolonel Laut Aloysius Pramono menyebutkan juru kunci Gunung Merapi itu ditemukan dalam kondisi selamat oleh salah seorang anggota tim SAR.

Kepada okezone, Direktur Dompet Dhuafa Yogyakarta M Fauzi, yang mendapat inforamasi dari tim evakuasi, mengabarkan juru kunci Merapi ini selamat. Namun kondisinya lemas akibat terpapar awan panas. "Ditemukan lemas, tapi saya sendiri belum bertemu langsung," ujarnya.

Mengenai korban, tercatat 15 orang tewas. Terdiri dari 13 warga setempat dan dua orang yang telah teridentifikasi dr.Tutur, anggota TNI dan wartawan Vivanews Yuniawan. "Rata-rata korban luka bakar,"

Sosok Mbah Marijan, dibalik kesederhanaanya adalah tokoh yang menebarkan inspirasi dan motivasi kepada banyak orang, berikut sebuah kiriman email yang menceritakan tentang sosok beliau, yang awalnya si pengirim email juga beranggapan bahwa Mbah Maridjan telah meninggal dunia

Sebuah kiriman email
Mbah Maridjan

Siang itu saya tak terlalu antusias ketika seorang kawan mempersilahkan naik mobil menuju Gunung Merapi. Kejenuhan segera merambati hati. Setelah menderu-deru mendaki gunung, mobil yang saya tumpangi akhirnya berhenti di pelataran luas yang menampung beberapa rumah, pendopo dan masjid.

Saya menguntit rombongan menuju rumah yang terbuat dari kayu itu. Usai mengucapkan salam dan menyalami Mbah Maridjan, hati saya mendadak berbunga-bunga. Senyumnya yang ramah mendarat tepat di jantung. Spontan suasana hati saya riang gembira.

Tangannya yang kasar langsung menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin yang mengisi hidupnya dengan kerja keras. Ada kesan kuat bahwa dia telah hidup dalam kerja keras dan keprihatinan panjang. Meski sudah berusia 83 tahun, badannya tetap tegap dengan dua kaki mantap yang menunjangnya.

Inilah sosok yang telah lama saya rindukan. Inilah pemimpin yang tanpa hingar-bingar memanifestasikan apa yang disebut dengan “kearifan lokal”. Tak berlebihan bila saya katakan bahwa Mbah Maridjan yang tinggal di lereng gunung itu telah menyadarkan saya tentang fakta yang selama ini kurang saya hayati. Bahwa budaya dan lingkungan tak menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin besar.

Lama saya menduga bahwa pemimpin itu harus berasal dari latar belakang tertentu. Tapi, semua dugaan itu spontan hilang ditelan oleh kehadiran Mbah Maridjan. Kini, saya sepenuhnya yakin bahwa pemimpin itu bisa berasal dari golongan dan latar belakang mana saja. Dan bahwa kemuliaan seorang pemimpin itu berasal dari akhlak dan kepribadiannya, bukan dari keturunan dan penampilan luarnya.

Sejauh yang dapat saya pahami, dengan segala kesederhanaannya, Mbah Maridjan telah menjelmakan sejumlah sifat pemimpin ideal: keberanian yang tidak mengandung kebencian; ketegasan yang tidak bercampur amarah; kerendahan hati yang bukan dari kepengecutan; keramahan yang tidak menjilat; kehati-hatian yang sejalan dengan akal sehat dan sebagainya.

Menurut saya, Mbah Maridjan telah melalui proses panjang menundukkan nafsu dengan membersihkan batinnya. Kenikmatan duniawi dan kekuasaan tak lagi mengganggunya, apalagi mencemarinya. Dan seperti layaknya manusia-manusia yang dekat dengan Allah, mudah saja baginya untuk menundukkan gunung sebesar Merapi dan meyakinkan warga yang dipimpinnya bahwa bencana tak bakal menimpa mereka.

Mbah Maridjan agaknya telah berupaya keras mengikuti jejak tokoh panutannya, Semar Badranaya, yang gambarnya terpampang di ruang tamunya. Mirip dengan Semar, Mbah Maridjan mencoba menjadi sarana manusia untuk kembali mendekatkan diri pada Allah. Banyak ucapannya yang mengaitkan bencana alam, terutama meletusnya Gunung Merapi, dengan peringatan Allah terhadap perilaku manusia.

Salah satu sikap Mbah Maridjan yang paling mengesankan saya ialah keinginan kuatnya untuk selalu tawaduk dan sadar akan batas-batas dirinya. Sifat ini terasa sekali dalam semua tutur kata dan tingkah lakunya. Jelas bahwa dia telah lama berupaya menjauhkan dirinya dari sifat sombong, tak tahu diri, dan melampaui batas yang dewasa ini sudah menjangkiti sebagian besar pemimpin kita.

Saat beberapa wartawan mencoba mengambil fotonya, dia berseloroh bahwa orang jelek sepertinya tak pantas difoto. Sambil menunjuk ke arah karikatur yang terpajang di atas lemari ruang tamunya, Mbah Maridjan menyatakan bahwa foto itu sering kali membuatnya semakin jelek, “mirip dengan gambar yang di sana itu.” Dia senantiasa berbicara dalam bahasa Jawa, lantaran menurutnya sendiri dia adalah orang kecil yang tak layak berbicara dalam bahasa Negara (baca: bahasa Indonesia).

Ada pengendalian yang kuat dalam dirinya untuk tidak terjebak oleh kenikmatan duniawi. Semua pendapatannya sebagai bintang iklan produk jamu langsung dia salurkan untuk perbaikan sarana dan prasarana umum. Sikap yang sama dia ulang kembali saat seorang perwakilan rombongan menyerahkan bantuan uang. Setelah berterima kasih, Mbah Maridjan sama sekali tidak memedulikan uang tersebut. Bahkan, begitu azan Magrib berkumandang, bungkusan berisi uang itu dia biarkan tergeletak di meja ruang tamu yang saat itu penuh sesak dengan orang.

Ada banyak hikmah yang dapat saya petik dari pertemuan dengan Mbah Maridjan. Tapi, satu hikmah yang segera menghunjam saya ialah fakta bahwa Allah niscaya meninggikan derajat siapa saja yang merendahkan dirinya. Ini janji yang pasti terjadi. Bagaimana tidak. Hampir semua tokoh nasional, mulai presiden sampai artis terkenal, plus sejumlah besar duta besar negara-negara Barat sudi berzigzag mendaki gunung guna mengunjunginya dan meminta nasihatnya. Duta Besar Jerman malah pernah menyampaikan undangan Walikota Munich kepada Mbah Maridjan untuk berkunjung. Tentu saja undangan itu ditolak Sang Mbah. Semua orang itu rupanya datang untuk mencari satu barang yang akhir-akhir ini semakin langka: perikemanusiaan. Dan sepertinya, mirip dengan yang saya alami sore hari itu, para pengunung bisa menemukannya pada Mbah Maridjan.

Akhirnya, jelas bahwa saya dan juga Mbah Maridjan tak ingin ada kultus terhadap individu. Tapi, saya ingin mengajak kita untuk melakukan kultus pada nilai2 kemanusiaan yang belakangan semakin senyap dari jiwa kita.

Sebuah email dari seoramg teman . . . . .

Selamat jalan mbah. Kepergianmu mengajarkan seni bertauladan kepada para pemimpin negeri ini. Mengajarkan tentang makna tanggungjawab dan makna kemanusiaan. Dan begitulah pemimpin seharusnya, bukan colong playu. . . .

Pun, kebergianmu adalah jalan kematian ala kekasih Tuhan. Kebergianmu mengajarkan kepada mereka yang menololkan jalan yang kau tempuh. . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar