Baca dulu infonya ??

Senin, 22 Agustus 2011

Sejarah Kesultanan Banten

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Banten berawal ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1526, pasukan Demak, dibantu Sunan Gunung Jati dan puteranya, Hasanuddin, menduduki pelabuhan Sunda, yang saat itu merupakan salah satu pelabuhan dari kerajaan Pajajaran, dan kota Banten Girang. Pasukan Demak mendirikan kerajaan Banten yang tunduk pada Demak, dengan Hasanuddin sebagai raja pertama. Menurut sumber Portugis, saat itu Banten merupakan salah satu pelabuhan kerajaan Pajajaran di samping Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa (kini Jakarta) dan Cimanuk.



Kasultanan Banten
1527–1813
Bendera Banten
Bendera
Lokasi Banten
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya
Ibu kota Banten Girang
Bahasa Sunda, Jawa, Lampung
Agama Islam
Pemerintahan Kesultanan
Sultan
 - 1552–1570 ¹ Maulana Hasanuddin
 - 1651–1683 Ageng Tirtayasa
Sejarah
 - Serangan atas Kerajaan Sunda 1527
 - Aneksasi oleh Hindia-Belanda 1813
¹ (1527-1552 sebagai bawahan Demak)

  

Sejarah

Tahun 932, kerajaan Sunda didirikan di bawah naungan Sriwijaya, di kawasan Banten, dengan ibukota di Banten Girang. Kerajaan ini berakhir tahun 1030, dengan mungkin Maharaja Jayabupati sebagai raja terakhirnya, yang memindahkan pusat kerajaan ke pedalaman, di Cicatih dekat Cibadak.
Setelah itu Sunda diperkirakan jatuh di bawah kekuasaan langsung Sriwijaya. Di abad ke-12, lada menjadi bahan ekspor yang berarti bagi Sunda.
Dalam bukunya, Zhufan Zhi (1225), Zhao Rugua menyebut "Sin-t'o" sebagai bawahan Sriwijaya tapi menulis bahwa "tidak ada lagi pemerintahan yang teratur di negara itu. Penduduk menjadi perampok. Mengetahui ini, saudagar asing jarang ke sana." Pernyataan ini menunjukkan pelemahan kekuasaan Sriwijaya, yang sendirinya juga menjadi sarang perompak. Menurut Nagarakertagama, setelah raja Kertanegara menyerang kerajaan Malayu tahun 1275, Sunda jatuh di bawah pengaruh Jawa. Namun berkat lada, ekonomi Sunda berkembang pesat di abad ke-13 dan ke-14.
Menurut Carita Parahyangan, Banten Girang ("Wahanten Girang") diserang Pajajaran, negara pedalaman yang juga beragama Hindu-Buddha. Peristiwa ini diperkirakan terjadi di sekitar tahun 1400. Sunda tunduk pada Pajajaran, yang lebih mementingkan pelabuhannya yang lain, Kalapa (kini Jakarta) dan mungkin satu lagi di muara Citarum. Mungkin itu sebabnya Tomé Pires menulis bahwa pelabuhan yang paling besar di Jawa Barat adalah Kalapa. Namun di sekitar tahun 1500, perdagangan internasional bertambah pesat untuk lada dan membuat Sunda lebih kaya lagi.
Jatuhnya Melaka di tangan Portugis tahun 1511 berakibatkan perdagangan terpecah belah di sejumlah pelabuhan di bagian barat Nusantara dan membawa keuntungan tambahan ke Sunda. Ada kemungkinan rajanya masih beragama Hindu-Buddha dan masih tunduk pada Pajajaran. Namun berkurangnya kekuasaan Pajajaran memberi Sunda kesempatan dan peluang yang lebih luas. Raja Sunda, yang diancam kerajaan Demak yang Muslim, menolak untuk masuk Islam. Dia ingin bersekutu dengan Portugis untuk melawan Demak. Tahun 1522 Banten dan Portugis menandatangani suatu perjanjian untuk membuka suatu pos di sebelah timur Sunda untuk menjaga perbatasan terhadap kekuatan Muslim.
Tahun 1523-1524, Sunan Gunung Jati meninggalkan Demak dengan memimpin suatu bala tentara. Tujuannya adalah mendirikan suatu pangkalan militer dan perdagangan di bagian barat pulau Jawa. Sunda ditaklukkannya dan rajanya diusir. Saat Portugis balik ke Sunda tahun 1527 untuk menerapkan perjanjian dengan Sunda, Gunungjati menolaknya. Sementara Kalapa juga direbut pasukan Muslim dan diberi nama baru, "Jayakarta" atau "Surakarta" ("perbuatan yang gemilang" dalam bahasa Sangskerta)
Banten kemudian diperintah oleh Gunung Jati sebagai bawahan Demak. Namun keturunannya akan membebaskan diri dari Demak. Tahun 1552, Gunung Jati pindah ke Cirebon, di mana dia mendirikan kerajaan baru.
Jatidiri dan kegiatan Gunung Jati lebih banyak diceritakan dalam naskah yang sifat kesejarahannya kurang pasti sehingga terdapat banyak ketidakpastian. Boleh jadi kegiatan militer yang dikatakan dilakukan oleh dia, sebetulnya adalah perbuatan orang lain yang oleh Portugis dipanggil "Tagaril" dan "Falatehan" (yang mungkin maksudnya "Fadhillah Khan" atau "Fatahillah") dan yang dalam sejumlah cerita disamakan dengan Sunan Gunung Jati. Purwaka Caruban Nagari, suatu babad yang dikatakan ditulis tahun 1720, membedakan Gunung Jati dari Fadhillah.
Raja Banten kedua, Hasanuddin (bertahta 1552-1570), memperluas kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung, yang hubungannya dengan Jawa Barat sebetulnya sudah lama. Menurut tradisi, Hasanuddin adalah anak Gunung Jati. Dia menikah dengan seorang putri dari raja Demak Trenggana dan melahirkan dua orang anak.
Raja ketiga, Maulana Yusuf (bertahta 1552-1570), menaklukkan Pajajaran di tahun 1579). Menurut tradisi, Maulana Yusuf adalah anak yang pertama Hasanuddin. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kesultanan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Banten karena dibantu oleh para ulama.
Tahun 1638 Pangeran Ratu (bertahta 1596-1651) menjadi raja pertama di pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" dengan nama Arab "Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir".

Puncak kejayaan

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.
Sultan Ageng juga memikirkan pengembangan pertanian. Antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makassar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, penduduk kota Banten meningkat dari 150 000 menjadi 200 000.

Masa kekuasaan Sultan Haji

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Penghapusan kesultanan

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Daftar raja Banten

  • Sunan Gunung Jati
  • Hasanuddin 1552 - 1570
  • Maulana Yusuf 1570 - 1580
  • Maulana Muhammad 1585 - 1590
  • Sultan Abulmufakhir Mahmud Abdulkadir 1596 - 1647 (dianugerahi gelar "Sultan"pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu. )
  • Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
  • Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
  • Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
  • Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
  • Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
  • Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
  • Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
  • Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
  • Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
  • Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
  • Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
  • Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
  • Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
  • Aliyuddin II (1803-1808)
  • Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
  • Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
  • Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

 



 


 

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar